Yang Tersisa dalam Hidup

Seseorang yang memiliki penyerahan yang benar kepada Allah akan sampai pada kawasan atau level dimana ia akan merasa bahwa yang tersisa dalam hidupnya hanyalah Tuhan. Hal ini tentunya melalui proses yang panjang dan ketat, tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Pada waktu kita masih belum dewasa rohani, banyak hal yang kita merasa miliki sebagai hak kita sendiri, termasuk Tuhan di dalamnya. Ironis, kita merasa memiliki Tuhan untuk menggunakan kuasa-Nya, tetapi tidak merasa dimiliki Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ketika kita makin bertumbuh menikmati hadirat Tuhan, sukacita Tuhan, nilai-nilai rohani, nilai-nilai Kerajaan Surga, maka yang tersisa dalam hidup kita hanyalah Tuhan, yaitu bahwa kesukaan kita hanya Tuhan dan mengabdi kepada-Nya. Dalam hal ini kita bisa mengerti bagaimana kita dimiliki Tuhan dan hidup hanya untuk mengabdi kerpada-Nya. Hal ini harus dialami sendiri, bukan sekadar dimengerti dalam pikiran. Hal ini memang sulit untuk diungkapkan melalui pengajaran atau kata-kata, tetapi harus dialami secara langsung. 

Sering Tuhan membawa kita kepada keadaan-keadaan yang sulit. Keadaan tersebut dapat berwujud ketika kita ditinggalkan oleh orang yang kita percayai, dikhianati orang dekat, mengalami sakit yang sulit disembuhkan, kehilangan orang yang dikasihi, dan kehilangan harta, kita mulai dapat berpikir lebih jernih bahwa siapa pun dan apa pun yang kita miliki ternyata hanya sementara. Tetapi keadaan tersebut menggiring kita untuk dimiliki oleh Allah, menikmati damai sejahtera-Nya dan hidup dalam pengabdian kepada Dia saja.

Dari keadaan-keadaan tersebut, Tuhan mengajar kita untuk berselancar bersama-Nya untuk belajar menghayati bahwa Ia adalah kebutuhan kita satu-satunya.  Maka, orang percaya yang benar akan merasa takut kalau ada sesuatu yang ia rasa masih miliki dan hal tersebut menjadi kebahagiaan hidupnya. Seharusnya di akhir pengembaraan hidup kita, seiring dengan pertambahan usia, kita sampai pada kawasan ini. Jangan sampai semakin lama menjadi orang Kristen, kita tidak kunjung memiliki perasaan krisis walau masih ada yang kita miliki selain Tuhan. Kesadaran bahwa Tuhan menjadi satu-satunya harta kekayaan dan kebahagiaan harus dimiliki dalam perjalanan rohani orang percaya. Jika seseorang tidak memiliki kesadaran ini, maka sebenarnya ia sedang mengkhianati Tuhan. Oleh sebab itu, orang percaya harus mengkhianati dagingnya sendiri untuk bisa membahagiakan Tuhan. Dalam hal ini kita harus belajar kebenaran dan jujur terhadap keadaan hidup kita

“Kejujuran terhadap keadaan hidup” di sini maksudnya kita berani mengakui segala ketidaktepatan yang masih ada dalam diri kita. Bukan hanya mengakui dosa yang terkesan fatal, tetapi juga ketidaktepatan seperti kebahagiaan lain yang masih ada di hidup kita. Sebab kalau jujur, kita tidak dapat menikmati kebahagiaan di tengah-tengah dunia yang hancur ini. Selain itu, kita tidak bisa bahagia sementara orang di sekitar kita tidak bahagia. Kita tidak bisa merasa bahagia sementara banyak orang di sekitar kita hidup di dalam penderitaan, terlebih lagi banyak orang yang hidup di bawah bayang-bayang maut menuju kegelapan abadi. Pada akhirnya, semua yang kita miliki tidak pernah bisa memuaskan dan pasti ada ujungnya. Oleh sebab itu, kita harus melepaskan semuanya agar memperoleh Tuhan. Tanpa melepaskan kebahagiaan sekecil apa pun, maka kita tidak dapat memperoleh Tuhan. Untuk ini seseorang harus mengenal dirinya sendiri dengan belajar kebenaran. 

Kebenaran yang Tuhan ajarkan melalui Alkitab dapat membukakan mata rohani kita untuk mengenal keadaan diri. Di samping itu, perjumpaan pribadi dengan Tuhan akan menambah ketajaman kita untuk melihat kemelesetan dalam diri kita. Dengan mengevaluasi diri dengan firman dan perjumpaan pribadi dengan Tuhan, kita dapat melihat kesenangan apa saja yang masih kita genggam. Akhirnya, kita dapat memasuki kawasan mempertaruhkan semua untuk kepentingan Tuhan. Jika kita tidak pernah sampai pada kawasan ini, berarti kita telah memiliki kekristenan palsu. Kita merasa menghidupi kehidupan Kristen, namun sesungguhnya kita tidak menghidupi esensi dari kekristenan itu sendiri. 

Ketika seseorang tidak mau sampai pada tingkat penyerahan ini, yaitu pada akhirnya yang disisakan itu Tuhan, tidak mungkin ia dapat menghormati dan mengasihi Allah dengan benar. Ia tidak mungkin dapat mengabdi kepada Allah secara utuh. Tidak mungkin ia memiliki kerinduan bertemu muka dengan muka dengan Tuhan Yesus. Ia tidak sanggup menghayati dunia ini bukan rumahnya dan merindukan pulang ke surga. Hanya mereka yang berada dalam kondisi inilah yang sebenarnya berada dalam kekristenan yang sejati. Sebab Kekristenan yang sejati akan membawa kita sampai pada tingkat penyerahan segenap hidup tanpa menyisakan sedikit pun kebahagiaan di luar Tuhan. Dengan kalimat lain, Tuhan menjadi kebahagiaan kita meski dunia atau keadaan yang kita alami tidak menjanjikan.