Penyerahan Diri yang Benar

Ada satu rahasia kehidupan yang harus kita pahami. Kebenaran tersebut adalah keberanian kita menyongsong keadaan hari esok yang tidak menentu yang mana hal ini sangat dipengaruhi dengan penyerahan hidup kita kepada Tuhan. Kita tidak dapat mengatakan kepada seseorang untuk kuat dan tabah, kalau orang tersebut tidak memiliki penyerahan yang benar kepada Tuhan. Ia tentu akan merasakan ketakutan dan khawatir menghadapi hari esok. Kalaupun memiliki semacam keberanian, biasanya palsu. Maksudnya, ketika belum menghadapi pergumulan, persoalan, bahaya ancaman di depan mata, seseorang dapat berkata dengan mudah, “Aku percaya. Aku tidak takut.” Tetapi ketika berada di dalam situasi bahaya dan mengancam hidupnya, baru dia tahu bahwa keyakinan dirinya tidak takut akan bahaya dan ancaman tidak cukup menopang hidupnya. Hal ini disebabkan perasaan kita bisa sangat situasional. 

Kita bisa berkata “aku tidak takut,” tetapi ketika kita ada dalam situasi dimana kita menghadapi ancaman bahaya yang di depan mata, baru kita mengerti bahwa keyakinan atau kepercayaan tidak takut kita ternyata masih kurang. Kesiapan seseorang menghadapi hari esok sangat ditentukan oleh tingkat penyerahan dirinya kepada Tuhan. Kebenaran ini paralel dengan keadaan ketika seseorang ada di hadapan pengadilan Tuhan nanti. Orang bisa berkata, “Aku percaya Tuhan selamatkan aku; aku percaya nanti masuk surga; aku percaya nanti Tuhan menjemput saya di ujung maut.” Tetapi ketika seseorang ada di ujung maut, apalagi di hadapan pengadilan Tuhan, kepercayaan atau keyakinan itu tidak cukup menopang dirinya, kecuali ia memiliki penyerahan yang benar kepada Tuhan. Oleh sebab itu, seseorang harus membiasakan diri merasakan apa yang diyakini, bukan sekadar yakin saja di dalam pikiran; yang dirasakan atau dialami adalah Tuhan. Tuhan harus dialami bukan hanya diyakini. Orang yang sungguh-sungguh mengalami Tuhan pasti memiliki kualitas keberanian yang tinggi.

Bicara soal penyerahan diri yang benar, kita harus memahaminya dengan tepat sesuai kebenaran yang ada di Alkitab. Penyerahan ini bukan hanya kesediaan kita menyerahkan persoalan hidup kita kepada Tuhan dan memercayai pertolongan-Nya. Penyerahan diri sering kali dipahami sebagai kesediaan menyerahkan segala persoalan hidup dan segala keadaan yang bisa dialami nanti ke depan. Di situ kita memercayai Tuhan akan menyertai dan menolong. Penyerahan ini bukanlah penyerahan yang benar dan berkualitas. Sebab untuk memiliki penyerahan hidup semacam ini, tidak diperlukan menjadi orang Kristen. Setiap orang yang oportunis dan hendak memanfaatkan Tuhannya, juga melakukan hal demikian.

Penyerahan yang benar adalah ketika kita memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya. Dalam hal ini, orang percaya tidak memilih dunia sama sekali. Dunia dengan segala kesenangannya dipandang sebagai suatu hal yang akan musnah (1Yoh. 2:17). Meskipun ia tidak memusuhi dunia—dalam arti menjauhi orang-orang dan hidup dalam lingkaran isolasi—namun ia sungguh bertekad tidak mengikuti jejak hidup orang-orang dunia pada umumnya. Jejak hidup orang dunia pada umumnya adalah menemukan kebahagiaan dari harta, pasangan, kedudukan, gelar akademik, fasilitas mewah, dan berbagai kesenangan yang memikat. Ketika seseorang menemukan kebahagiaan dari hal-hal tersebut, ia melangkahkan kakinya di jejak hidup yang sama dengan dunia. Sebaliknya, orang yang memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya akan menyerahkan hidupnya untuk menuruti kehendak Allah dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Ia tidak akan sibuk dengan perkara duniawi yang tidak mendewasakan atau menopang rencana Tuhan. Pikirannya semata-mata ia arahkan untuk perkara surgawi.

Jejak hidup seperti ini sudah dipraktikkan oleh Abraham, bapa orang beriman. Dalam kemapanan hidupnya di Ur-Kasdim, Abraham memilih untuk mengikuti jejak Allah yang dihormatinya. Kalau mau jujur, justru kehendak Allah yang diberikan kepada Abraham sama sekali tidak memberi jaminan masa depannya di bumi. Ketika Abraham keluar dari Ur-Kasdim, ia hidup nomaden (mengembara) tanpa kejelasan, sangat berbeda dengan potret hidupnya sebelum keluar dari tanah kelahirannya. Namun, ia tidak memandang kemapanan hidup yang distandarkan oleh dunianya pada hari itu sebagai standar utama. Alkitab mengatakan bahwa ia tidak pernah memperoleh apa yang dijanjikan Allah di dunia ini (Ibr. 11:13). Sebaliknya, ia sadar bahwa apa yang dijanjikan Allah tidak berada di bumi ini, tetapi ada di balik langit biru. Kendati demikian, Abraham tidak pernah menyesal. Ia merindukan tanah air surgawi dimana Allah sendiri yang membangun kotanya (Ibr. 11:10). Kehidupan Abraham merupakan contoh penyerahan diri sejati yang harus kita teladani. Ia tidak menyerahkan diri untuk meminta pertolongan atau memanfaatkan Allah, tetapi secara aktif menyerahkan diri untuk mengikuti kehendak Allah dan memilih Kerajaan-Nya, sebagai jejak hidupnya.

Penyerahan yang benar adalah ketika kita memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya