Mewariskan Kekristenan

Adalah mudah untuk mewariskan dari generasi ke generasi kekristenan yang menjadi agama, dan sejatinya, hal itu sudah sukses terjadi. Namun di balik kesuksesannya, ada manuver kuasa kegelapan yang ikut menyukseskannya; yang membuat pewarisan kekristenan sebagai agama mulus terjadi atau mulus berlangsung. Biasanya, kekristenan sebagai keberagamaan ditandai dengan seremonial atau liturgi dan itu mudah diwariskan. Kalaupun ada perubahan-perubahan, hal itu tidak sulit dilakukan. Dan ciri lain kekristenan yang menjadi keberagamaan adalah memiliki standar kelakuan baik atau hidup menurut norma umum atau norma yang memang dikenal di dalam Alkitab dalam kehidupan bangsa Israel yang berdasarkan 10 Perintah Allah atau Dekalog. Keberagamaan, juga ditandai dengan dominasi tokoh. Jadi, peran pemimipin agama dominan di dalam kehidupan umat. Tapi kalau kekristenan sebagai jalan hidup, tidak mudah diwariskan. Dan inilah yang telah dipotong oleh kuasa kegelapan supaya tidak terwariskan. 

Padahal sejatinya, kekristenan adalah jalan hidup; jejak hidup-Nya Tuhan Yesus yang harus diwariskan dari generasi ke generasi—bukan jalan hukum—yaitu bagaimana orang percaya harus menjalani hidup seperti yang Yesus jalani; dan itu tidak mudah. Karena setiap masa, setiap waktu, setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda dan berubah. Tetapi kehidupan seperti yang diselenggarakan oleh Tuhan Yesus harus tetap eksis, tidak boleh berubah. Tuhan Yesus berkata bahwa ibadah bagi umat Perjanjian Baru itu menyembah dalam roh dan kebenaran. Ini penting sekali. Sudah bukan pola keberagamaan, tapi jalan hidup dalam roh dan kebenaran, dan ini tidak mudah diwariskan. Tidak bermaksud mengesampingkan dalil teologi atau doktrin yang ada, tetapi kekristenan itu adalah jalan hidup. Doktrin, teologi ataupun dalil itu penting untuk mengembalikan kekristenan pada Injil yang murni (back to the Bible). Tetapi kita harus tahu fokus atau inti daripada kekristenan, yaitu diri Yesus. 

Jadi, sekuat dan seteguh apa pun daktrin seseorang, namun kalau hal itu tidak membuat manusia menjadi segambar dan serupa dengan Allah yang modelnya adalah Tuhan Yesus, berarti kekristenan gagal dicapai. Masalahnya, “seperti Yesus” itu bagaimana? Sikap, tindakan, perilaku yang dalam segala hal sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Berarti setiap individu harus berurusan dengan Allah; setiap individu harus bersentuhan dengan Allah. Sebagai jemaat yang menyadari bahwa dirinya tidak memiliki ilmu teologi yang cukup, merasa “miskin,” namun kemudian ia melangkah untuk mengenal Allah—melalui doa, khotbah, buku dan sarana lain—maka jika dia dengar-dengaran dengan gairah yang murni dan tulus, dia pasti akan menemukan Tuhan. Sebaliknya, seorang yang merasa mengenal Allah karena segenggam ilmu teologi yang dia miliki, dia terparkir di situ. Dia tidak bertemu dengan Tuhan, tapi bertemu dengan ilmu tentang Tuhan. Bertemu Allah dan bertemu ilmu tentang Allah adalah dua hal yang sangat berbeda. Maka, jangan merasa puas dengan hidup kekristenan yang sudah kita capai. Sebab penyesatan kuasa kegelapan yang luar biasa sukses adalah ketika orang Kristen diparkir dalam hidup keberagamaan

Kekristenan itu jalan hidup, artinya bahwa ibadah kita sesungguhnya bukan seremonial, tetapi seluruh perilaku hidup. Melayani Allah itu sesungguhnya, pertama, melayani perasaan-Nya. Bahkan setiap kata yang kita ucapkan, itu merupakan ibadah. Apakah ucapan yang kita lontarkan telah menunjukkan penghormatan kita kepada Allah? Perlakuan kita terhadap orang lain, apakah menunjukkan sikap hormat kita kepada Allah? Jadi, kita harus bertobat, jangan merasa sudah berbakti karena kita ada dalam acara liturgi atau kebaktian di gereja ataupun sudah menjadi aktivis, bahkan pendeta. Yang kedua, jangan merasa sudah melayani Tuhan, sudah berbakti, sudah menjadi orang Kristen karena bermoral baik. Sebab standarnya Bapa di surga: sempurna, seperti diri-Nya, serupa dengan Yesus. Yang ketiga, tidak tergantung dengan siapa pun atau apa pun. Tidak tergantung pendeta, tidak tergantung pemimpin spiritual manapun, dia bisa langsung bertemu dengan Tuhan. 

Menapaki jejak Yesus dapat menimbulkan penderitaan, yaitu ketika kita mempertahankan kekristenan yang sejati dengan tidak mengikuti jalan dunia dan membunuh hasrat-hasrat pribadi yang sudah terlanjur melekat di dalam diri kita. Namun, inilah pilihan yang harus kita ambil, yaitu menapaki jejak hidup Tuhan Yesus yang tidak dirusak oleh keberagamaan, sehingga rantai kekristenan yang sejati dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab pada akhirnya setiap individu harus menemukan Tuhan supaya dia mengerti apa yang Allah kehendaki dalam hidupnya. Kemudian dia menjadi seorang seperti yang Allah rancang, karena masing-masing kita memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dan ini menjadi kekayaan Kerajaan Surga yang bertumbuh dengan landasan karakter Kristus, yaitu memiliki kepekaan, kecerdasan rohani untuk berbuat segala sesuatu selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.