Menyalakan Kegentaran

Ketepatan Tuhan sangat sempurna, sehingga jika Ia diuji pasti tidak didapati salah. Dalam Bilangan 23:19 dikatakan, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta; bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” Fakta ini seharusnya membuat kita gentar di hadapan-Nya. Dengan keadaan yang penuh dengan cela, kita menghadapi Allah yang Mahakudus. Sebenarnya kita tidak akan pernah layak di hadapan-Nya apabila Ia tidak melayakkan kita. Namun, tidak banyak orang Kristen yang menyadari hal ini. Mereka merasa layak dan pantas diterima karena meyakini doktrin penebusan Tuhan yang dipandang benar. Padahal di sisi lain, mereka tidak sungguh memperkarakan hidupnya di hadapan Tuhan. Mereka hidup sembarangan tanpa kegentaran yang patut terhadap Allah. 

Banyak orang Kristen dan teolog berpikir bahwa dengan bermodalkan pemahaman doktrinal secara kognitif, mereka merasa pantas di hadapan Allah. Keselamatan dicapai oleh seseorang bukan hanya karena meyakini suatu doktrin dan sekadar mengakui status Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi juga menjalani kehidupan dalam penurutan terhadap kehendak Allah, sehingga seseorang benar-benar melakukan kehendak Allah dengan standar kehidupan Yesus (Yoh. 4:34). Keselamatan adalah perubahan hidup dari kodrat dosa kepada kehidupan yang mengenakan kodrat ilahi, dari mencintai dunia kemudian berpaling dari dunia untuk mengarahkan diri ke langit baru dan bumi yang baru. Jika tidak demikian, berarti kekristenan yang palsu.

Dalam sebuah kesempatan, Tuhan pernah dengan keras memperingatkan orang Israel mengenai kisah istri Lot (Luk. 17:32). Kalau sampai Tuhan mengingatkan kita kepada peristiwa istri Lot, pasti kejadian itu memuat kebenaran yang harus kita perhatikan. Jangan kita memandang kisah-kisah yang ditulis dalam Alkitab seperti barang di museum, hanya mengenangnya tetapi tidak memiliki kaitan dengan kita secara dekat atau lekat. Alkitab harus menjadi kisah yang hidup seakan-akan kita ada di dalamnya. Seakan-akan peristiwa itu sedang terulang dalam bentuk lain namun dengan esensi yang sama. Memang apa yang terjadi di dalam Alkitab berlangsung kembali dalam hidup manusia. Hanya, bentuknya berbeda pada masing-masing individu, tetapi esensinya sama. Sebab kalau intinya tidak sama, pasti Tuhan tidak akan menyinggung mengenai istri Lot. Tuhan pasti tidak akan berkata, “Ingatlah akan istri Lot.”  Pernyataan ini merupakan peringatan agar kita tidak “kembali ke dunia.” Kita harus mengenakan kehidupan yang tidak sama dengan dunia ini. 

Ketegangan Lot dapat kita ambil alih menjadi ketegangan kita, sehingga Alkitab menjadi hidup. “Mengambil ketegangan” di sini maksudnya menempatkan diri seolah-olah kejadian Lot yang keluar dari Sodom terulang pada kita hari ini. Perbedaannya, kita tidak keluar dari dunia secara fisik, tapi kita harus berkejaran dengan waktu untuk keluar dari cara hidup dunia yang membinasakan. Banyak orang tidak melakukan hal ini. Mereka membaca Alkitab seakan kisah dongeng yang berlalu begitu saja. Ketika membaca Alkitab, kita harus mulai menyalakan kegentaran seakan-akan kita mengambil bagian dalam perjuangan tokoh yang sedang dibaca. Untuk mulai membiasakan hal ini, kita harus merenungkan Firman siang dan malam. Kita harus berani membuat dunia baru, tidak ikut dalam kancah pergumulan hidup seperti anak-anak dunia, karena kita memiliki ladang pergumulan. Ketika Tuhan Yesus mengutip sebuah kisah Alkitab, Ia tidak pernah salah kutip. Tuhan Yesus tidak pernah mengambil kisah Yosafat—Allah berperang ganti Israel—sebagai pelajaran yang hanya menekankan kehidupan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan jasmani. Tetapi Yesus pasti mengarahkan kita kepada hal-hal yang rohani atau hal-hal kekekalan. 

Apa yang dikutip Tuhan di Perjanjian Lama, itu yang harus kita perhatikan dengan serius. Bukan berarti kita tidak boleh memungut kisah-kisah di Perjanjian Lama. Kisah Perjanjian Lama harus dibaca dalam hubungannya dengan pusat atau episentrumnya, yaitu Perjanjian Baru dan Yesus. Banyak orang sewenang-wenang mengambil ayat Perjanjian Lama lalu mengenakannya dalam hidup orang Kristen yang seharusnya pusat atau episentrumnya adalah Perjanjian Baru dan Tuhan Yesus. Seharusnya apa yang dikutip Tuhan Yesus di Perjanjian Lama dihidupkan secara terus-menerus, karena bertalian dengan standar umat Perjanjian Baru. Semua tulisan yang diilhamkan Allah, termasuk Perjanjian Lama, mengandung kebenaran (2Tim. 3:16). Kalau sebuah kisah sampai dikutip oleh Tuhan Yesus, pasti kebenarannya luar biasa, seperti misalnya kisah istri Lot. Tuhan pasti memiliki tujuan yang kuat untuk memperingatkan bahwa tugas kita adalah masuk dalam pergumulan itu dan menyalakan kegentaran dalam diri kita secara konsisten. Kiranya api atau gairah yang pernah membara di hati orang-orang benar, juga menyala di hati kita karena kita di pihak yang sama dengan orang-orang benar dalam Alkitab. Jangan sampai kita berdiri di pihak istri Lot yang tidak merasa memiliki kegentaran terhadap kekudusan Allah.