Menata Hidup

Kehadiran Tuhan dalam kehidupan orangtua pasti akan terendus, pasti tercium oleh anak-anak. Di sini orangtua bukan hanya mengajarkan doa secara legalistik, melainkan orangtua harus benar-benar mengalami Tuhan secara konkret. Pengalaman dan perjumpaan dengan Tuhan, serta atmosfer kehadiran Allah dalam hidup orangtua harus dialami dan dirasakan oleh anak-anak. Untuk ini, paling tidak ada tiga hal yang harus orangtua perhatikan, yaitu:

Pertama, menata hidup. Semua harta yang bisa orangtua wariskan, pendidikan yang diberikan, belum tentu bisa mendatangkan kebahagiaan, keamanan, dan keselamatan bagi anak-anak. Bahkan, sering menjadi kutuk, karena kekayaan tersebut menenggelamkan anak-anak ke dalam pikiran duniawi. Apalagi kalau yang diwariskan itu mestinya harta yang orangtua persembahkan bagi pekerjaan Allah. Satu hal yang harus kita ingat adalah bahwa anak akan memiliki rezekinya sendiri nanti. Tidak sedikit kita—para orangtua—yang lahir dari keluarga miskin secara materi, namun keadaan tersebut justru membangun urat juang kita untuk menghadapi segala keadaan, dan buktinya kita bisa eksis hari ini. 

Orangtua harus memperhatikan anak secara serius, dalam segala aspeknya, khususnya yang terkait dengan keselmatan jiwanya. Orangtua juga harus bekerja keras, rajin, bertanggung jawab dan tidak secara mistik mengklaim berkat Tuhan untuk dapat diperoleh dengan mudah, yang mana hal ini merupakan pendidikan yang salah untuk anak-anak kita. Seakan-akan menjadi Kristen berarti mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup. Harus diajarkan kepada anak-anak bahwa mengikut Yesus adalah perjalanan yang sukar, tetapi suatu saat akan menuai kemuliaan yang tiada tara.

Allah adalah Pribadi yang tidak bertanggung jawab kalau hanya memberikan kemudahan-kemudahan hidup kepada anak-anak-Nya, sehingga orang-orang Kristen tidak mempunyai daya juang yang proporsional. Allah mengajar orang percaya untuk memaksimalkan potensi dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kemudian mempersembahkannya untuk kepentingan Kerajaan Surga. Selanjutnya orangtua juga mengajar anak-anak untuk bekerja keras guna memenuhi kebutuhan mereka. Orangtua tidak boleh dengan mudah mewariskan kekayaan kepada anak-anak tanpa hikmat.  

Dengan kekayaan yang orangtua wariskan kepada anak-anak, sering malah membuat mereka bukan saja tidak memiliki daya juang, namun juga mereka akan cenderung menggampangkan masalah dan tidak bertanggung jawab. Orangtua sering kali gagal melihat keadaan anak-anaknya yang seperti itu. Hal ini disebabkan karena orangtua tidak berjalan dengan Tuhan, sehingga mereka tidak memiliki kecerdasan rohani untuk bisa melihat dan menilai anak-anaknya. Lukas 12:15 mengajarkan kepada kita bahwa hidup manusia tidak bergantung kepada kekayaan. Jadi kalau kita sebagai orangtua memiliki kekayaan yang berlimpah, jangan mengesankan kepada anak bahwa dengan uang itu kita dapat menjamin hidupnya mereka. Anak-anak harus melihat bagaimana orangtua bergantung kepada Tuhan. Mulai dari teladan orangtua yang rajin datang ke gereja, belajar Firman, dan berdoa bersama. Tatanan hidup seperti ini memancarkan satu pesan bahwa kita tidak bisa hidup tanpa Tuhan. 

Sebaliknya, jika kita sebagai orangtua yang secara finansial tidak mampu, jangan menunjukkan kegentaran dan ketakutan kepada anak-anak. Tunjukkan kekokohan, kegigihan, ketabahan, dan tentu harus disampaikan kepada anak-anak bahwa keadaan yang sulit itu merupakan cara Allah mendewasakan kita. Tentu anak-anak juga diajar untuk melihat langit baru bumi baru. Ajarkan bahwa rezeki itu tidak bisa diperoleh dengan mudah; tidak bisa diperoleh hanya dengan doa, namun harus kerja keras. Bukan menjadi rahasia bahwa banyak orangtua yang tidak mampu secara finansial, tetapi mampu mengajarkan hidup yang benar kepada anak-anaknya. Akibatnya, di masa depan anak-anak mereka memiliki nasib yang lebih baik ketimbang orangtuanya. Kaya atau miskin tidak menjadi suatu masalah yang mutlak. Namun, teladan hidup orangtua yang tertata dengan baik di mata anak-anak menjadi warisan yang paling penting untuk masa depan anak.

Orangtua harus tetap di dalam ketergantungan kepada Tuhan, baik ia kaya maupun miskin. Ketergantungan yang benar ini akan dibahas pada bab-bab berikutnya. Namun secara sederhana, “ketergantungan” di sini tidak menunjuk pada kepasrahan karena tidak adanya jalan keluar. “Ketergantungan” di sini mengacu kerendahan hati untuk menyerahkan diri pada kehendak Tuhan. Karena Allah menentang orang congkak tetapi mengasihani orang yang rendah hati (1Ptr. 5:5). Orang yang rendah hati itu orang-orang yang menyadari bahwa dia tidak bisa berjalan tanpa Tuhan. Jadi, dengan ketergantungan ini, anak-anak akan diajar untuk mengarahkan pandangan kepada Tuhan. Anak-anak harus melihat bagaimana orangtua sebelum tidur, berdoa mengucap syukur, dan meminta perlindungan Tuhan. Orangtua harus menunjukkan kegentarannya akan Allah. Dengan kata lain, orangtua yang harus bertanggung jawab menunjukkan kehadiran Allah dalam hidupnya. Di sinilah kita meninggalkan jejak hidup kita kepada anak-anak.