Menarik Perhatian Tuhan

Dalam Ayub 42:5-6, Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu.” Jika kita membacanya dengan pengamatan yang baik, tentu kita akan terkejut dengan pernyataan Ayub ini. Dalam Ayub pasal 1, ia digambarkan sebagai sosok yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan. Setiap pagi, Ayub mempersembahkan kurban bakaran untuk menebus kesalahan anak-anaknya. Bahkan dalam keadaan kehilangan segala sesuatu, ia masih dapat menyatakan, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!” (Ay. 1:21). Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ayub mengakui bahwa keberadaannya hanya karena pemberiann Allah semata-mata. Karenanya ia tidak bersungut-sungut ketika Allah mengambil semuanya melalui sarana atau keadaan apa pun.

Dalam kepedihannya, Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang tidak patut. Ia tidak bersungut-sungut menghadapi pencobaan dan prahara yang begitu besar dalam hidupnya. Lalu Alkitab juga mencatat ketika istrinya menyuruh dia mengutuki Allah supaya dia mati, Ayub menjawab, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ay. 2:10a). Ditulis lagi, “Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya” (Ay. 2:10b). Tidak hanya kehilangan harta dan keluarganya, pergumulan Ayub sampai di titik dimana tubuhnya, dari kepala sampai kakinya, penuh dengan barah yang busuk. Sehingga dengan sekeping beling dia menggaruk-garuk badannya. Dapat dibayangkan Ayub, seorang kaya raya, menjadi manusia miskin dan terbuang seperti ini namun tetap menunjukkan kualitas yang luar biasa. Justru kualitas hidup seseorang nampak pada waktu ada dalam keadaan yang terpuruk seperti keadaan Ayub. Demikianlah sejatinya bahwa penderitaan yang kita alami adalah ujian dan pemurnian agar kita menjadi sempurna atau naik ke level yang lebih tinggi. 

Dari sisi kognitif, Ayub juga seorang yang berpengetahuan. Buktinya, Ayub dapat bersoal jawab dengan sahabat-sahabatnya yang datang menghiburnya. Dari jawaban-jawaban Ayub, kita dapat melihat bahwa ia bukan sosok yang tidak mengerti tentang Tuhan. Ia bisa mengimbangi teman-temannya yang berbicara panjang lebar mengenai Tuhan. Jadi, tidak diragukan kapasitas, kualitas hidup Ayub dari perilakunya secara praktis serta pengetahuannya secara kognitif. Namun mengejutkan bahwa Ayub bisa berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau.” Ia hanya mendengar tentang Allah dari orang, namun sudah bisa menjadi landasan hidup moral kerohaniannya yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa orang yang tidak mengalami Allah secara langsung pun dapat memiliki moral kerohanian yang baik, namun pasti tidak sempurna. Lanjutnya, “Tetapi sekarang, mataku sendiri memandang Engkau,” artinya Ayub kini memiliki pengalaman berjumpa dengan Allah secara nyata setelah mengalami semua pergumulannya. Dia baru mengalami realitas Allah setelah melewati pergumulan dan peristiwa yang menyakitkan.

Ayub adalah sosok yang menarik perhatian Tuhan. Ia tidak sempurna dalam pengenalan akan Allah, tetapi ia berusaha sungguh untuk menjaga perasaan Tuhan. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan orang Kristen atau teolog hari ini yang terlihat sangat mengenal Allah, tetapi tidak sungguh untuk menjaga perasaan Tuhan. Pengetahuan teologi tidak membuat manusia otomatis memiliki karakter yang mulia. Memang hal itu sangat dibutuhkan untuk berinteraksi dengan Allah. Jika seseorang tidak memiliki pemahaman teologi yang tepat, pada akhirnya ia tidak akan mengenal Allah secara tepat. Namun, memiliki ilmu teologi adalah hal yang berbeda dengan menjadi orang yang menarik perhatian Tuhan. Belum tentu orang yang mampu berteologi dengan baik, menarik perasaan Tuhan. Orang yang dapat menarik perasaan Tuhan adalah orang-orang yang serius menjaga perasaan Tuhan dan membuahkan kehidupan yang kokoh dalam mempertahankan iman melalui perjumpaan pribadi dengan Tuhan setiap waktu.

Setiap kita terpanggil untuk menjadi orang yang menarik perhatian Tuhan. Sama halnya dengan Ayub yang menarik perhatian Tuhan sampai Ia membanggakan Ayub di depan Iblis dengan berkata, “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub?” (Ay. 1:8). Kebanggaan Allah atas Ayub tentu bukan tanpa alasan. Dengan standar umat Perjanjian Lama, Ayub menarik perhatian Tuhan dengan praktik hidupnya. Oleh karenanya, Tuhan memurnikan Ayub agar menjadi seseorang yang sungguh istimewa di hadapan Tuhan. Pemurnian tersebut disambut Ayub dengan baik, meskipun tidak sempurna. Ia pada akhirnya mengalami Allah secara langsung melalui berbagai pergumulannya. Hal yang sama berlaku pada kita. Saat kita hendak mencapai keserupaan dengan Tuhan dalam jejak-Nya, kita harus siap untuk diubah melalui berbagai peristiwa. Semua hal tersebut bertujuan untuk menjadikan kita anak-anak Allah yang bukan hanya mengenal-Nya secara nalar, tetapi mengalami-Nya dengan nyata.