Kenyamanan dalam Bingkai Kesucian Allah

Saudaraku,

Orang-orang Yahudi pada zaman Yesus adalah orang-orang yang trauma terhadap sejarah masa lalu yang pedih dan benar-benar menyakitkan. Selama 500 tahun, mereka tidak memiliki nabi, tidak memiliki jurubicara Allah, seakan-akan Allah diam. Mereka juga tidak memiliki kerajaan sendiri. Mereka jatuh dari satu kekuatan bangsa asing ke tangan kekuatan bangsa asing lainnya. Mereka sangat menginginkan kerajaan. Jadi, ketika mereka bertanya, “apabila Kerajaan Allah akan datang?” tentu saja yang dimaksud dengan “Kerajaan Allah” dalam konsep orang Yahudi adalah Kerajaan Allah duniawi, seperti yang pernah dimiliki bangsa Israel pada zaman raja-raja di Perjanjian Lama; khususnya Raja Saul, Daud, dan Salomo dimana mereka dapat memiliki kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran di bumi ini.

Tetapi harus ingat bahwa bumi sudah terkutuk. Dan tidak pernah kita membaca dalam Alkitab, kutuk atas bumi ini diangkat. Memang kutuk atas manusia diangkat oleh kurban Yesus di kayu salib, tetapi bumi yang sudah terkutuk ini tetap terhukum, dan tentu saja tidak akan pernah memiliki kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran yang ideal.

Kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran yang ideal adalah kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran dalam bingkai kesucian dan kekudusan Allah, dimana tentu Allah dimuliakan secara benar, secara proporsional, atau sebagaimana mestinya. Dan ini tidak mungkin terwujud di atas bumi yang sudah terhukum, bumi yang sudah terkutuk ini, dan manusia yang belum dikembalikan ke rancangan Allah semula atau belum berkeadaan sesuai rancangan Allah semula.

Dalam konsep duniawi, kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran selalu diukur secara materi dalam jumlah dan kualitasnya. Adapun kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran dalam konsep rohani, tidak diukur oleh materi dalam jumlah atau kuantitas, dan tidak diukur pula dalam kualitasnya; sehebat apa pun kualitas barang atau materi itu. Maka kalau bicara soal berkat di Perjanjian Lama pasti menyangkut hal “tanah yang berlimpah susu dan madu. Terbebas dari kekuasaan asing, panen raya yang sukses, jauh dari bencana, pandemi, wabah penyakit, menang perang.” Itulah kenyamanan mereka.

Dalam Roma 14:17, “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” Nah, kebenaran baru ada ketika Yesus datang. Jadi adalah tragis dan benar-benar menyedihkan kalau orang Kristen kembali pada konsep Kerajaan Allah di Perjanjian Lama.

Orang percaya yang benar akan memiliki kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran kalau ia mengenal kebenaran, dan tidak terikat oleh percintaan dunia. Dunia tidak kenal ini. Maka Tuhan Yesus berkata di dalam Yohanes 14, “bahwa damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu tidak seperti yang diberikan dunia ini.” Maka setelah kita mendengar kebenaran Injil, seharusnya kita berpikir bahwa tidak ada kenyamanan, tidak ada keamanan dan kemakmuran yang sejati di bumi ini. Kalau Saudara masih berpikir ada, Anda pasti berkhianat kepada Tuhan. Anda kembali ke zaman bangsa Israel. Jadi, kalau orang Kristen masih memiliki kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran di bumi walaupun itu dari Tuhan, diimani, dimaknai berkat Tuhan, tetap meleset. Iman kepada Tuhan itu ditandai dengan kehidupan seperti Yesus.

Kehidupan bangsa Israel memang memuat banyak hikmat dan hikmah yang menggiring kita pada proses keselamatan dalam Yesus Kristus. Tapi jangan berhenti di kehidupan bangsa Israel. Bangsa Israel mengikuti Taurat Musa, yaitu usaha dibenarkan oleh perbuatan berdasarkan hukum; berdasarkan perbuatan-perbuatan yang dilandasi hukum. Sedangkan prinsip bagi umat Perjanjian Baru terdapat dalam kitab Roma 3:4, “Kamu tidak bisa dibenarkan karena melakukan hukum atau oleh karena perbuatan, tapi oleh karena iman.”

Maka kalau Saudara memahami kekristenan seperti bangsa Israel, berarti hidup Saudara pasti masih wajar seperti orang beragama lain. Bukan sebagai pengikut Kristus. Pengikut Kristus itu hidup seperti Yesus. Hidup oleh karena iman artinya belajar melakukan apa yang Allah kehendaki dengan mengenal kebenaran, memiliki kepekaan, mengerti kehendak Allah, kecerdasan rohani, mengerti apa yang Dia ingini. Berlatih terus.

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono