Kehausan akan Allah

Tuhan Yesus berkata, “manusia hidup bukan hanya dari roti, tetapi juga dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4). Di sini jelas ada isyarat dari Tuhan bahwa ada makanan jasmani yang kita kecap, asup, dan nikmati setiap hari untuk kebutuhan jasmani. Akan tetapi juga ada makanan rohani yang kita butuhkan untuk jiwa kita. Oleh karenanya, bukan hanya fisik kita yang memiliki kebutuhan untuk memperoleh asupan, namun juga dengan jiwa kita. Dengan demikian, sebagaimana tubuh kita memiliki cita rasa, maka jiwa kita juga memiliki cita rasa. Cita rasa tersebut dibangun dalam waktu panjang melalui berbagai pengertian yang orangtua dan lingkungan wariskan. Jika sesuatu dirasa baik dan menyenangkan, maka hal itu kita terima. Jika sesuatu dirasa tidak baik dan tidak menyenangkan, biasanya hal itu akan dihindari. Apa yang dirasa baik/tidak baik; atau menyenangkan/tidak menyenangkan menjadi cita rasa yang terekam dalam jiwa kita.

Bagi orang yang sudah terlalu lama menikmati dunia dengan segala kesenangannya dan tidak memiliki persekutuan yang ideal dengan Allah, mereka tidak akan mengerti kehausan akan Allah. Mereka telah tertawan dan terbelenggu. Cita rasa jiwanya telah merekam kesenangan dunia dan membuatnya asing terhadap kehausan akan Allah. Sebab sesuatu yang membuat kita bahagia, sesuatu itu menjadi kekasih jiwa kita. Sesuatu yang membuat engkau merasa gembira, bahagia, lengkap, utuh, kepadanya engkau mengabdi. 

Banyak orang yang sebenarnya telah tertawan oleh dunia ini sampai pada titik tidak balik (point of no return). Biasanya orang-orang seperti itu merasa harus terus memenuhi berbagai hasrat, sebab ada kehausan dalam rongga jiwa mereka. Sebenarnya mereka sendiri tidak sadar bahwa mestinya rongga kosong dalam jiwanya itu hanya dapat diisi oleh Tuhan. Kalau pola hidup seperti ini tidak dihentikan segera, maka mereka tidak pernah berhenti tercandui oleh kesenangan dunia sampai binasa. Inilah yang terjadi dalam kehidupan hampir semua manusia di dunia.

Tuhan telah mengondisikan manusia dengan rongga kosong dalam jiwanya yang hanya bisa diisi oleh Tuhan. Sejatinya, rongga kosong tersebut adalah ikatan yang Allah taruh dalam diri manusia yang dapat menyelamatkan manusia dari kebinasaan, sebab memang manusia tidak dapat terpisah dari Allah Penciptanya. Tuhan berkata, “engkau minum air ini, engkau haus lagi. Tetapi kalau kau minum air dari pada-Ku, dari padamu akan memancar kehidupan” (Yoh. 4:13-14). Hal ini menunjukkan kehausan dalam jiwa manusia hanya dapat dipuaskan oleh Tuhan. Harta, kekayaan, kehormatan, dan berbagai kesenangan dunia lainnya tidak dapat memuaskan jiwa manusia. Seseorang dapat merasa bahagia dan puas seketika saat memperoleh berbagai hal tersebut. Akan tetapi, ketika maut tiba, seseorang baru sadar bahwa dirinya memerlukan Tuhan. Pada akhirnya, ia melihat semua hal jasmani yang dicapai tidak dapat menjawab kebutuhan jiwa yang sesungguhnya. Ironisnya, sejak kanak-kanak rongga kosong manusia diisi oleh berbagai hal dan itulah yang kita warisi dari orang tua yang tidak mengenal kebenaran dan dunia yang fasik. Sehingga banyak orang dikondisikan untuk mengisi jiwanya dengan kesenangan dunia sementara yang sebenarnya tidak dapat menolong ketika hari akhir tiba.

Tanpa disadari banyak orang bersahabat dengan dunia. Mereka yang bersahabat dengan dunia bukan hanya orang-orang di luar gereja, tapi juga orang-orang Kristen. Mereka bersahabat dengan dunia, sehingga menjadi mempelai dunia. Persahabatan dengan dunia tersebut bahkan dibangun oleh rohaniwan yang berkhotbah di mimbar Tuhan. Mereka tidak sadar bahwa khotbahnya yang tidak menarik jemaat dari dunia sama dengan menjerumuskan jemaat menjadi sahabat dunia. Bahkan tidak jarang, khotbah mereka mengarahkan jemaat untuk memperoleh dunia dengan pertolongan Tuhan. Akhirnya, sampai mati mereka tidak pernah dapat merasakan kehausan akan Allah. Mereka hanya haus akan kesenangan dunia dan kehidupan wajar yang diajarkan oleh dunia.

Untuk memiliki kehausan akan Allah, kita harus berani meninggalkan kesenangan dunia. Meninggalkan kesenangan dunia sama dengan menyangkal diri dari segala cita rasa jiwa yang telah lama mewarnai jiwa kita. Tuhan berkata bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia, harus menyangkal dirinya dan memikul salib (Luk. 9:23). Tanpa menyangkal diri, seseorang tidak dapat memiliki kehausan yang benar akan Tuhan dan mengikut Dia. Hanya dengan melawan kesenangan yang telah terekam dalam daging kita, kehausan akan Allah dapat terbangun. Seseorang tidak dapat merasa haus akan Tuhan sambil menikmati kesenangan dunia yang menawan daging. Proses ini tentu tidak mudah dan singkat, tetapi dengan memulainya dari sekarang, kita membangun kehausan akan Allah sejak di bumi ini sehingga kita bisa mengikuti jejak hidup-Nya.