Bersahabat dengan Tuhan

Salah satu hal yang mengikat kehidupan manusia zaman sekarang adalah perasaan terlindungi dan bahagia oleh topangan materi, kekayaan dunia, dan keadaannya hidup yang sejahtera. Hampir semua orang berfilosofi bahwa kebahagiaan adalah ketika keadaan hidup nyaman, aman dan tertopang oleh banyak fasilitas. Orang-orang seperti ini merasa terlindungi dan menikmati kebahagiaan jika memiliki fasilitas hidup dan topangan uang yang cukup. Itulah sebabnya bagi banyak orang, kemiskinan menjadi hantu yang menakutkan. Demikianlah fakta yang mengerikan, hampir semua orang lebih takut miskin daripada takut akan Allah. Mereka lebih takut tidak memiliki fasilitas dunia daripada masuk neraka. Mereka menganggap kekekalan adalah hal yang sepele. Padahal api kekal atau terpisah dari Allah adalah kengerian yang tidak terbayangkan. 

Orang yang tidak cukup memiliki materi dalam hati kecilnya merasa ada kegagalan. Mereka merasa hidupnya tidak lengkap, tidak utuh, atau lebih rentan terhadap berbagai ancaman. Dengan demikian, segala usaha yang dilakukan manusia pada umumnya adalah bagaimana meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Cara berpikir seperti ini telah memengaruhi semua manusia, termasuk orang Kristen. Sehingga akhirnya perasaan terlindungi dan menikmati kebahagiaan oleh topangan materi menjadi gaya hidup hampir semua manusia.

Sejatinya, perasaan terlindungi dan merasa bahagia oleh topangan materi akan terbukti sekadar fantasi pada waktu ada perang, keadaan kacau karena teror atau huru hara, bencana alam, pandemik, dan lainnya. Sebagai contoh, ketika kita ada di atas 40.000 kaki dari permukaan laut lalu pesawat mengalami goncangan, maka secanggih apa pun peralatan elektronik pesawat, tidak dapat mengalahkan cuaca yang sedang bergolak. Suasana ini sangat menakutkan. Seakan seluruh uang dan kekayaan yang dimiliki seseorang sehingga ia memiliki kekuatan berkata, “ini bukan kawasan kami lagi.” Baru pada waktu seperti itu, orang menyadari bahwa kekuatan materi terbatas. Juga pada waktu dokter menyatakan bahwa tidak ada lagi obat atau peralatan medis apa pun yang dapat menyembuhkan suatu penyakit, barulah ia menyadari betapa tidak berdayanya manusia. Menghadapi bencana, manusia baru sadar betapa rapuh dirinya dengan sekuat apa pun topangan materi yang dimiliki. 

Banyak orang tidak menempatkan diri dalam posisi krisis bahwa pada suatu saat mereka pasti ada di pembaringan terakhir. Ini adalah keadaan yang paling kritis dan krisis dalam sejarah kehidupan manusia. Sebab dalam keadaan di ujung maut tersebut, tidak ada seseorang atau apa pun yang bisa menemani. Ini keadaan yang paling mengerikan, yaitu ketika seseorang ada di akhir sejarah hidupnya. Terkait dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata dalam Lukas 16:9, “Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.” Jadi kalau ada orang yang merasa bahagia dan terlindungi oleh topangan materi, artinya ia bersahabat dengan dunia. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh memiliki harta, tabungan, rumah, atau hal material lainnya. Namun, ikatlah persahabatan dengan Tuhan dengan mempergunakan mamon (harta benda dan materi), bukan bersahabat dengan dunia mempergunakan Tuhan.

Bersahabat dengan Tuhan adalah keadaan ketika kita memandang tidak ada persoalan apa pun, kecuali berkenan kepada-Nya. Tidak boleh ada masalah yang lebih besar dari masalah berkenan di hadapan Tuhan. Sebab jika kita menganggap ada masalah besar, tentu kita mutlak mengusahakan jalan keluarnya. Ketika seseorang berfokus pada masalahnya secara berlebihan, ini berarti ia memberhalakan masalahnya. Ada banyak masalah yang bisa terjadi dalam hidup kita, yang kita tidak boleh memaksa mutlak harus ada jalan keluar. Apa yang bukan mutlak, jangan dimutlakkan. Kita harus memandang semua itu sebagai hal minor yang akan selesai seiring waktu dan tanggung jawab kita. Misalnya jika kita sakit, kita harus mengubah pola hidup dan pergi ke dokter. Tapi kalaupun Tuhan tidak menyembuhkan, ini bukan masalah. Tuhan pasti peduli, sebab tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Semiskin atau segagal apa pun hidup kita, tidak menjadi masalah asalkan kita menjadi kekasih Tuhan. Sebaliknya, sehebat apa pun, tidak ada artinya kalau pada akhirnya Tuhan berkata: “Aku tidak mengenal kamu!” Harus selalu kita ingat bahwa kegagalan yang sesungguhnya adalah ketika kita ditolak Tuhan sebagai sahabat-Nya. Tidak ada kegagalan yang lebih besar dan fatal dari hal ini. Usahakanlah diri kita untuk menjadi sahabat Tuhan sejak hari ini, bukan menunggu situasi sudah kritis dan tidak ada harapan lagi. Untuk itu, ikuti jejak hidup-Nya.