Saudaraku,
Firman Tuhan mengatakan, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita
menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1:8). Ayat ini
menunjukkan bahwa sejak dulu (zaman rasul-rasul) ada orang-orang yang merasa
bahwa dirinya tidak memiliki dosa atau salah. Tuhan menyatakan bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran dan yang tidak tinggal di dalam
Firman-Nya. Tetapi ironis, mereka mengaku sebagai orang kudus. Mereka adalah
pendusta yang tidak bisa dipercayai. Mereka adalah orang-orang “nekad’ yang
mencari penghargaan dan nilai diri di mata manusia lain. Biasanya mereka adalah
moralis-moralis yang suka menghakimi sesama, mencela dan mengutuk orang lain
karena kejahatan yang disangkakannya atau dinilai secara naif. Mereka juga adalah
orang-orang yang mau menunjukkan bahwa dirinya lebih hebat dari orang lain.
Hal ini dilakukan sebab tanpa sadar mereka memandang atau merasa bahwa orang
lain adalah saingannya. Inilah kesombongan rohani yang ditentang oleh Allah. Bisa
dipastikan mereka belum mengenal Injil Tuhan Yesus Kristus yang tuntutan-Nya
adalah sempurna seperti Bapa. Bisa dipastikan juga bahwa mereka tidak mengenal
kebenaran yang menekankan sikap dan nilai-nilai batiniah. Kesucian hanya diukur
oleh mereka dari tindakan lahiriah secara hukum.
Apakah mereka yang mengaku orang suci sudah mencapai kesucian seperti yang
Bapa kehendaki? Pasti belum, tetapi mereka merasa sudah tidak bercacat, sebab
ukuran kesuciannya adalah moral umum. Karena mereka belum mengenal
kebenaran sehingga tidak hidup dalam kebenaran, maka cirinya jelas, yaitu
meninggikan diri seakan-akan dirinya paling suci di antara manusia lain. Hal ini juga
bisa didorong oleh hasrat hendak dikultuskan. Seharusnya tidak demikian. Kalaupun
ia memiliki kesucian yang tinggi dan luar biasa, hal itu tidak perlu dikemukakan
kepada orang lain. Biarlah hanya Tuhan yang tahu yang akan memberikan upah
kepada setiap orang sesuai dengan perbuatannya (2Kor. 5:9-10). Paulus
sendiri—yang adalah seorang hamba Tuhan yang kualitasnya tidak diragukan
lagi—berkata bahwa dirinya belum sempurna, dia sedang mengejar atau
menggumulinya dengan sungguh-sungguh (Flp. 3:12; 1Kor. 9:27).
Jadi maksud ayat ini bukan sekadar agar kita mengaku bahwa kita orang berdosa,
melainkan harus kita persoalkan: dosa apa? Kalau hanya dosa-dosa moral umum,
standar Hukum Taurat, maka akan ada orang-orang yang berani mengaku bahwa
dirinya tidak berdosa. Seperti misalnya orang muda kaya dalam Matius 19:16-19,
juga Paulus sebelum bertobat menyatakan bahwa dirinya tidak bercacat (Flp. 3:6).
Keberdosaan di sini tidak boleh diukur sekadar melanggar Hukum Taurat. Kalau
memperhatikan tulisan selanjutnya, maka dapat diperoleh ukuran kesucian sekaligus
ukuran keberdosaan. Ukuran itu antara lain: menuruti perintah-perintah-Nya (1Yoh.
2:3). Tentu saja perintah di sini berkenaan dengan Hukum Taurat atau hukum moral
umum. Ukuran lainnya: hidup seperti Tuhan Yesus hidup (1Yoh. 2:6), mengasihi
saudara (1Yoh. 2:9-11) dan tidak mengasihi dunia dan apa yang ada di
dalamnya—yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup
(1Yoh. 2:15-16). Standar kesucian hidup orang percaya ini menjadi ukuran kesucian
sekaligus ukuran keberdosaan. Oleh sebab itu dosa dalam konteks kehidupan orang
percaya tidak boleh dipahami sekadar melanggar moral atau melanggar Hukum
Taurat.
Orang percaya harus mengakui dosa, artinya mengakui keberadaannya di hadapan
Tuhan. Keberadaan di sini dikaitkan dengan standar kesucian seperti yang
dijelaskan di atas. Kalau sudah menyadari keberadaannya, maka orang percaya
harus mengakui, mohon pengampunan dan menerima pengampunan. Tuhan akan
menyucikan dari segala kejahahatan (1Yoh. 1:9). Pengakuan keberdosaan ini bukan
hanya menyangkut kesalahan moral atau pelanggaran umum yang telah dilakukan,
tetapi keberadaan kesucian hidup belum seperti yang Tuhan kehendaki. Kalau
seseorang tidak mengaku dirinya berdosa, berarti ia menipu dirinya sendiri. Kata
menipu dalam teks aslinya adalah planao (πλανάω). Kata ini selain menipu atau
mengelabui (deceive) juga berarti menyesatkan (lead astray), memberi pengertian
yang salah (mislead) dan menyebabkan ngelantur, mengembara atau jalan tiada
arah (couse to wander). Ia merasa bahwa dirinya tidak berdosa padahal
keberadaannya jauh dari standar kesucian Tuhan. Itulah sebabnya tidak ada
perasaan krisis dalam diri mereka untuk bergumul keluar dari kejahatan (adikia)
tersebut. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak mengenal
kebenaran. Kalau mereka mengenal kebenaran, maka mereka akan menyadari
keberdosaan mereka. Dengan keadaan ini banyak orang Kristen yang sebenarnya
jalan tiada arah. Mereka menyesatkan dirinya sendiri oleh karena kebodohannya.
Merasa bahwa dirinya tidak berdosa padahal keberadaannya jauh dari
standar kesucian Tuhan, merupakan penyesatan diri sendiri oleh karena kebodohan.